ONTOLOGI[1]
(ASUMSI-ASUMSI)
A.
Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang unik. Berkat daya
psikis cifta, rasa dan karsanya, manusia bisa tahu bahwa ia mengetahui dan juga
ia tahu bahwa ia dalam keadaan tidak mengetahui. Manusia mengenal dunia
disekelilingnya dan lebih daripada itu, mengenal dirinya sendiri. Dengan daya
fisikisnya mampu menghadapi persoalan kehidupan horizontal maupun vertikal. (Suparlan
Suhartono, 2008: 31). Dengan potensi akal, dapat mengatasi persoalan kehidupan
secara matematis menurut asas penalaran deduktit dan induktif. Dengan potensi
rasa, mengatasi persoalan dengan estetik menurut asas perimbangan. Dengan rasa
karsa mengatasi persoalan melalui pendekatan perilaku menurut asas etika.
Dengan asas inilah manusia dapat menemukan kebenaran, keindahan dan kebaikan
untuk dapat berkehidupan yang saleh dan bijaksana (philosophia)(Suparlan
Suhartono, 2008: 32). Dari ketiga asas tersebut, manusia melakukan perenungan
mendalam yang melibatkan akal pikiran.
Aktivitas filsafat melibatkan akal pikiran manusia
secara utuh, konsisten, dan bertanggung jawab.
Dalam aktivitas akal itu para filusuf mencoba mengungkapkan tentang
realitas. (Rizal Muntansyir dan Misnal Munir, 2002: 10). Pengungkapan realitas
tersebut merupakan gerak pemikiran, dan ilmu merupakan salah satu dari buah
pemikiran (pengetahuan) manusia (homo sapiens).
Berpikir bukan suatu beban, namun pertualangan
yang mengasyikan bagi mereka yang melihat kebenaran sebagai tujuan utama dalam
mengkaji hakekat kehidupan. (Jujun S. Suriasumantri, 2001: 4). Kebenaran dalam
ke-ilmu-an hanya bersifat peluang (besar kemungkinan), Sehingga wacana
ke-ilmu-an akan terus berkembang tidak staknan, dari tesa memunculkan anti tesa
dan dari keduanya dapat bekembang menjadi sintesa, sehingga muncul tesa-tesa
baru.
Sejalan dengan perkembangan pemikirannya, usaha
pencarian terhadap hakikat sesuatu yang ada (ontlogi) akan memberikan makna
terhadap kehidupannya sendiri, yang hanya dapat berlansung di tengah-tengah
komunikasi dan intraksi yang kompleks dengan berbagai ada, yang ada dalam
kehidupannya.
Dari proses pemikiran, objek-objek tersebut
dipikirkan secara mendalam sampai pada hakikatnya. Teori hakikat tersebut ada
yang menamakannya, ontologi, metapisika, bahkan
Aristoteles menyebutkan beberapa istilah yang maknanya dapat dikatakan
setara, yaitu: filasafat pertama (first philosophy), pengetahuan tentang
sebab (knowlege of cause) studi tentang ada sebagai ada (the study of
being as being), studi tentang ousia (being), studi tentang hal-hal
yang abadi dan yang tidak dapat digerakkan (the study of the eternal and
immovable), dan theology.
Cristian Wolff megklasifikasikan metafisika
sebagai berikut: 1. Metafisika Umum (Ontologi) membicarakan tentanag hal “ada”
(being). 2. Metafisika Husus. Metafisika husus terbagi menjadi tiga. 1).
Psikologi; membicarakan tentang hakikat manusia. 2). Kosmology; membicarakan
hakikat atau asal usul alam semesta. 3). Theology; membicarakan tentang hakekat
keberadaan Tuhan. (Rizal Muntansyir dan Misnal Munir, 2002: 11). Hakikat itu dapat terselami sampai pada
dasarnya bila proses kecurigaan (asumsi) terus dilakukan. karena Ilmu bertujuan
untuk mengerti mengapa hal itu terjadi, sebab sebuah pengetahuan baru dianggap
benar selama kita bisa menerima asumsi yang dikemukakannya. (Jujun S. Suriasumantri,
2001: 6). Untuk lebih jelas berikut adalah pembahasan mengenai “Ontologi” dalam
beberapa asumsi.
B.
Asumsi-Asumsi
a.
Ontologi
Persoalan
ontologi sebagai salah satu cabang dari filsafat yang ingin mencari dan
menemukan hakikat dari sesuatu yang ada, adalah merupakan persoalan filsafat
yang paling tua. Louis dalam bukunya Pengantar Filsafat (Elements of
Philosophy), menuliskan, awal mula alam pikiran mengenai ontologi diantara
Filusuf Barat yang dikenal, ialah orang Yunani yang bernama Thales, ia
berkesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula
dari segala sesuatu. (Soejono Soemargono, 1996:191).
Istilah
ontologia pertama kali digunakan oleh Rudolf Goclenius pada 1636. Yang lainnya
seperti Abraham Calovius menggunakan istilah ini bersama-sama dengan methaphisyca.
Johanes Clauberg seorang penganut Descartes, memakai istilah ontosophia untuk
merangkum persoalan ontologi itu. Tetapi ontologia sebagai istilah filsafat
akhirnya dibakukan oleh Cristian Wolff (1679-1754) dan Alexander Gottllieb
(1714-1762) (Musa Asy’arie, 2001:39).
Menurut
Lorens Bagus. Ontologi dalam bahasa
Inggris “ontology” berakar dari bahasa Yunani “on” berarti ada,
dan “ontos” berarti keberadaan. Sedangkan “logos” berarti
pemikiran. Jadi ontologi adalah pemikiran mengenai yang ada dan keberadaannya.
(Suparlan Suhartono, 2008: 111). Lebih lanjut dijelaskan, beberapa
karakteristik ontologi, antara lain;[2]
1. Ontologi adalah studi
tentang arti “ada” dan “berada” tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam
dirinya sendiri menurut bentuknya yang paling abstrak.
2. Ontologi adalah
cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas dalam arti seluas
mungkin, dengan menggunakan kategori-kategori seperti: ada atau menjadi,
aktualitas atau potensial, nyata atau penampakan, esensi atau eksistensi,
kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan dan sebagainya. Hal yang sama juga
dapat dibaca pada Louis O. Kattsoff alih bahasa oleh (Soejono Soemargono,
1996:191-213)
3. Ontologi adalah
cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terakhir yang ada, yaitu Yang
Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi, Sempurna dan keberadaan segala sesuatu yang
mutlak bergantung kepada-Nya. (Suparlan Suhartono, 2008: 111).
Ontologi
juga merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas apakah
nyata atau semu, apakah pikiran itu nyata, dan sebagainya. (Suparlan Suhartono,
2008: 111-112)
Ahmad Tafsir mengatakan ontologi
merupakan “teori hakikat” seperti telah disebutka diatas pembahasan
tentang teori hakikat ini sangat luas. Segala yang ada atau mungkin ada.
Hakikat ialah realitas artinya kenyataan yang sebenarnya, bukan keadaan
sementara atau keadaan yang menipu, bukan keadaan yang berubah.
Dalam
pemahaman ontologi, membahas mengenai realitas benda-benda. Apakah sesuai
dengan penampakannya (appearence) atau sesuatu yang tersembunyi dibalik
penampakannya itu? Menjawab pertanya tersebut paling tidak ada lima aliran,
yaitu materialisme, idealisme, dualisme, skeptisisme dan agnotisisme. Kelima
aliran tersebut akan dibahas berikut. Yang telah diuraikan oleh Ahmad Tafsir
sebagai berikut:
Materialisme
sering juga disebut dengan naturalisme, menurut aliran ini, hakekat benda itu
adalah materi, benda itu sendiri. Rohani, Jiwa, Spirit dan sebangsanya muncul
dari benda. (Ahmad Tafsir, 2000:28-29)
Idealisme
berpendapat sebaliknya; hakikat benda adalah rohani,spirit atau sebangsanya.
Alasanaya, nilai roh lebih tinggi dari badan, manusia lebih dapat memahami
dirinya daripada dunia luar dirinya, dan materi ialah kumpulan energi yang
menempati ruang, benda tidak ada, yang ada hanyalah energi.
Dualisme
yang merupakan hakikat pada benda itu ada dua, materi dan immaterial, benda dan
roh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari roh, dan roh bukan muncul dari
materi. Kedua-duanya sama-sama hakekat. Kesulitan yang dihadapi oleh aliran ini
ialah menjawab pertanyaan. Bagaimana kesesuaiannya bagi manusia? Jawabnya sudah
distel seperti tenaga dan jarum pada jam. (Ahmad Tafsir, 2000:28-29)
Dualisme
menurut N. Driyarkara, adalah Eksistensialisme, aliran ini muncul merupakan
reaksi dari materialisme dan idealisme. Kedua aliran tersebut sangat ekstrim
dalam memandang tentang manusia. Menurut materialisme, manusia itu hanyalah
sesuatu yang hanya ada, tanpa menjadi subyek. Hal demikian itu oleh Sartre
disebut “en-soi” yang sebaliknya ialah “pour-soi” adalah sesuatu
yang sadar akan diri sendiri, jadi yang berpikir. Itulah aspek yang dilupahkan
oleh materialisme. Akan tetapi sebaliknya itu dilebih-lebihkan oleh idealisme. (N.
Drijarkara, 1989:58-62)
Eksistensialisme
mengatakan manusia adalah eksistensi. Kasistensi disamakan “Dasein”
Heidegger mengatakan “Das wesen des Desein ligt in seiner Existenz” artinya wujud dari Desein ialah Existenz
atau berada dengan menempat samalah dengan berada dengan keluar dari diri sendiri dengan demikian manusia
justru menduduki dirinya sendiri dan berkata “Aku” dia adalah dirinya sendiri
yang “membelum” jadi ia selalu menyedang. (N. Drijarkara, 1989:58-62)
Skeptisisme
berpendapat diragukan apakah manusia mampu mengetahui hakikat. Mungkin dapat, mungkin
tidak.
Agnostisisme
menyerah sama sekali. Bahwa manusia tidak dapat mengetahui hakikat benda. A
artinya not, gno = Know didalam bahasa Grik agnostos berarti unknown.
(Ahmad Tafsir, 2000:28-29)
b.
Asumsi-asumsi
Asumsi
merupakan kecurigaan atau dugaan-dugaan yang didasarkan pada dasar-dasar
ilmiah, bukan preyudes, setelah ada kecurigaan dalam pemikiran, baru
diidentifikasi dengan melihat indikator-indikator teori dan realitas yang ada. Apakah gejalah-gejalah
yang terjadi dalam alam ini tunduk pada determinisme, atau pilihan bebas, atau
probabilistik?
Determinisme,
yakni hukum alam yang bersifat universal, ataukah hukum semacam itu tidak
terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan bebas, ataukah keumuman
itu memang ada namun berupa peluang, sekedar tangkapan probabilistik. Ketiga
masalah ini, merupakan permasalahan yang rumit namun menarik. Tanpa mengenal
ketiga aspek ini, serta bagaimana ilmu samapai pada pemecahan masalah yang
merupakan kompromi , akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan
dengan baik. (Jujun S. Suriasumantri,F. Ilmu, 2001: 73).
Menarik
ilustrasi yang disampaikan oleh Jujun, karena ia memulainya dengan cerita:
“Suatu hari pada zaman wild west,
seoarang jago tembak yang kenamaan ditantang oleh seorang petani yang mabuk.
Petani ini adalah orang biasa, jadi sama sekali bukan tipe jango, yang bisa tembak
sana tembak sini sambil tutup mata, setelah ia minum wiski dan melahap 16 jenis
masakan pesta. Cuma karena mabuk saja dia berlagak jadi jagoan disebabkan
otaknya yang sedang aut dari udara. Kalau waras, mana berani dia menantang
penembak profesional yang sudah punya reputasi seantero dunia. Dunianya koboi
tentu saja.” (Jujun S. Suriasumantri,F. Ilmu, 2001: 73).
Akhirnya
orang yang ada disekeliling arena tersebut mulai membicarakan taruhannya siapa
yang akan menang dalam pegelaran besar tersebut. kondisi mulai riuh, karena
semua orang sibuk memikirkan, karena pegelaran kali ini merupakan pegelaran
yang baru bagi mereka. Dalam kebingungan itu para petaruh ada yang lagi melakukan
komunikasi lewat handpone kepada dosen filsafat ilmu. Dosen tersebut
mulai menganalisa seandainya pistol si Jango punya kehendak sendiri, kan bisa
berabe? Berabi gimana? Ya, mungkin saja pistol itu tidak mau menembak orang
yang berdosa, apalagi seorang nonpropesional yang belum diakreditasi. Ah itu
nonsens, jawab bandar taruhan, itu terlalu bersifat akademik dan sangat
spekulatif, mana ada pistol punya pilihan bebas. Sekiranya pistol ditembakkan
dan tepat pada sasaran maka secara deterministik sasaran itu akan kena. Okey jawab konsultan,
namun bagaimana kalau pistonya macet? Macet bagaimana? Ya macet, klik! Jawab
konsultan itu. Dari data yang dapat dikumpulkan ternyata dari 100 peluru yang
ditembakkan sebuah pistol maka satu di antaranya adalah macet. Artinya secara
probabilistik, meskipun peluangnya 1 dalam seratus, mungkin saja pistol jago
kita itu macet, yang menyebabkan dia tersambar “chance” (kebetulan)
berupa nasib. Sehingga petaruh tersebut kembali berpikir dan merenung setelah
menutup handpone dari konsultannya tanpa kepastian. (Jujun S.
Suriasumantri,F. Ilmu, 2001: 73).
Sebuah
pengetahuan baru dianggap benar selama kita bisa menerima asumsi yang
dikemukakannya. ilmu bertujuan untuk mengerti mengapa hal itu terjadi. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan asumsi yang berbeda kita sampai pada kesimpulan yang
berbeda pula. Sehingga bila terjadi seperti cerita diatas, kita harus memilih
kesimpulan yang mempunyai asumsi yang dapat kita terima.
Kaum
rasionalis telah membuktikan bahwa kebenaran ditemukan dalam akal. Kaum
empiris, seluruh pengetahuan diturunkan dari pengelaman. Mereka berupaya untuk
membangun dalam mencari kebenaran. Katakonci yang tepat ialah; kepercayaan
sejati (rasional) yang dibenarkan (empiris). (Julian Baggini, 2004: 51-52). Berikut
asumsi-asumsi yang akan menghantarkan kepada kebenara.
Secara
lebih terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai obyek empiris. Asumsi
pertama menganggap obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain,
umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Berdasarkan ini
maka kita dapat mengelompokkan beberapa obyek yang serupa kedalam satu
golongan. Dan ilmu tidak berbicara mengenai kasus individu melainkan suatu
kelas tertentu yang anggotanya mempunyai ciri-ciri tertentu yang sempurna.
Asumsi
yang kedua adalah anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam
jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku
suatu obyek selalu berubah-ubah tiap waktu. Walaupun begitu tidak mungkin kita
menuntut adanya kelestarian yang absolut, sebab alam perjalan waktu tiap benda
akan mengalami perubahan. Oleh sebab itu ilmu hanya menuntut adanya kelestarian
dalam jangka waktu tertentu. Kelestarian relatif dalam jangka waktu tertentu
ini memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap obyek yang
sedang diselidiki.
Asumsi
yang ketiga adalah determinisme yang menganggap setiap gejalan bukan merupakan
suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu
yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama. Dan ilmu juga
tidak menuntut hubungan sebab akibat yang mutlak. Determinisme dalam pengertian
ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik). Dan dasar
statistika adalah peluang. Statistiak memiliki peranan yang menentukan dalam
persyaratan-persyaratan keilmuan sesuai dengan asumsi ilmu tentang alam. Tanpa
statistika hakekat ilmu akan sangat berlainan. (Jujun S. Suriasumantri,F. Ilmu,
2001: 73). Lihat juga (Burhanuddin Salam, 1997: 86-87)
Determinisme
adalah teori yang mengatakan bahwa segala sesuatu dalam alam ini, termasuk
manusia, diatur oleh hukum sebab musabab (kausal). Ia mengatakan bahwa apa saja
yang terjadi pada suatu waktu adalah hasil dari yang pernah terjadi pada waktu
sebelumnya. (Harol H. Titus dkk, 1984: 97)
Seorang ilmuan harus benar-benar mengenal asumsi yang digunakan dalam analisis
keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berbeda pula konsep
pemikiran yang dipergunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi
suatu kejadian keilmuan tidak bersifat tersurat (ahkam) melainkan tersirat (mutasyabih).
Asumsi yang tersirat ini terkadang menyesatkan, sebab selalu mendapat
kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak
dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik
digunakan asumsi yang tegas.
Asumsi merupakan
dugaan-dugaan sementara yang belum jelas kebenarannya, karena belum ada fakta
pendukung yang valid. Ilmu sebagaii
pengetahuan yang berfungsi membantu dalam memecahkan masalah praktis
sehari-hari, tidaklah perlu memiliki kemutlakan seperti halnya agama. Walaupun demikian sampai tahap tertentu
ilmu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi. Dalam pengeneralisasi
kebenaran, dalam kajian filsafat ilmu, tentu harus dilandasi oleh gagasan
rasionalis empiris. Sehingga asumsi tersebut dapat dikatakan benar secara non
verbal (kasybi).
C.
Kesimpulan
Dari
uraian diatas dapatlah dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Adanya
filsafat dapat membantu apa-apa yang tidak dapat dipecahkan melalui ilmu,
terutama berkaitan dengan hakikat sesuatu yang “ada” atau “mungkin ada”. Dan,
ontologi salah satu dari lapangan penyelidikan falsafi, merupakan the first philosophy
atau filsafat yang pertama. Yang telah memiliki berbagai penyebutan dalam
mengenai hakikat “realitas” paling tidak ada lima aliran, yaitu materialisme,
idealisme, dualisme, skeptisisme dan agnotisisme.
Sebuah
pengetahuan baru dianggap benar selama kita bisa menerima asumsi yang
dikemukakannya. Dan berkaitan dengan ilmu ada tiga asumsi. Pertama, ada keserupaan anatara obyek-obyek yang ada. Kedua, suatu benda tidak mengalami
perubahan pada jangka waktu tertentu. Dan ketiga,
setiap kejadian bukanlah bersifat kebetulan (determinisme). Bahwa hukum
itu berlaku kapan saja dan dimanana saja.
Asumsi
dapat dinyatakan benar secara non verbal (kasybi),
bila asumsi tersebut dapat diuji secara
rasionalis empiris.
DAFTAR PUSTAKA
lengkapnya dapat anda kirim permohonan.....kwa...e-mail sj kalau memang perlu: musliminhaiz@gmail.com
[1] Makalah disampaikan oleh Muslimin (NIM: 090103041)
JS II pada seminar kelas mata Kuliah: Filsafat Ilmu dengan Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Jalaluddin. 10 Oktober 2009.
[2] Untuk mengetahui garis besar mengenai ontologi
Lorens, dapat membaca resensi yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno, Filsafat
Dasar: Metafisika sekitar sebuah karya Dr. Lorens Bagus. Pada Majalah
Filsafat “DRIYARKARA” Th XX, No. 3, 1993/1994.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar