Translate

Rabu, 29 Mei 2013

Ontologi


ONTOLOGI[1]
(ASUMSI-ASUMSI)


A.      Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang unik. Berkat daya psikis cifta, rasa dan karsanya, manusia bisa tahu bahwa ia mengetahui dan juga ia tahu bahwa ia dalam keadaan tidak mengetahui. Manusia mengenal dunia disekelilingnya dan lebih daripada itu, mengenal dirinya sendiri. Dengan daya fisikisnya mampu menghadapi persoalan kehidupan horizontal maupun vertikal. (Suparlan Suhartono, 2008: 31). Dengan potensi akal, dapat mengatasi persoalan kehidupan secara matematis menurut asas penalaran deduktit dan induktif. Dengan potensi rasa, mengatasi persoalan dengan estetik menurut asas perimbangan. Dengan rasa karsa mengatasi persoalan melalui pendekatan perilaku menurut asas etika. Dengan asas inilah manusia dapat menemukan kebenaran, keindahan dan kebaikan untuk dapat berkehidupan yang saleh dan bijaksana (philosophia)(Suparlan Suhartono, 2008: 32). Dari ketiga asas tersebut, manusia melakukan perenungan mendalam yang melibatkan akal pikiran.
Aktivitas filsafat melibatkan akal pikiran manusia secara utuh, konsisten, dan bertanggung jawab.  Dalam aktivitas akal itu para filusuf mencoba mengungkapkan tentang realitas. (Rizal Muntansyir dan Misnal Munir, 2002: 10). Pengungkapan realitas tersebut merupakan gerak pemikiran, dan ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran (pengetahuan) manusia (homo sapiens). 
Berpikir bukan suatu beban, namun pertualangan yang mengasyikan bagi mereka yang melihat kebenaran sebagai tujuan utama dalam mengkaji hakekat kehidupan. (Jujun S. Suriasumantri, 2001: 4). Kebenaran dalam ke-ilmu-an hanya bersifat peluang (besar kemungkinan), Sehingga wacana ke-ilmu-an akan terus berkembang tidak staknan, dari tesa memunculkan anti tesa dan dari keduanya dapat bekembang menjadi sintesa, sehingga muncul tesa-tesa baru.
Sejalan dengan perkembangan pemikirannya, usaha pencarian terhadap hakikat sesuatu yang ada (ontlogi) akan memberikan makna terhadap kehidupannya sendiri, yang hanya dapat berlansung di tengah-tengah komunikasi dan intraksi yang kompleks dengan berbagai ada, yang ada dalam kehidupannya.
Dari proses pemikiran, objek-objek tersebut dipikirkan secara mendalam sampai pada hakikatnya. Teori hakikat tersebut ada yang menamakannya, ontologi, metapisika, bahkan  Aristoteles menyebutkan beberapa istilah yang maknanya dapat dikatakan setara, yaitu: filasafat pertama (first philosophy), pengetahuan tentang sebab (knowlege of cause) studi tentang ada sebagai ada (the study of being as being), studi tentang ousia (being), studi tentang hal-hal yang abadi dan yang tidak dapat digerakkan (the study of the eternal and immovable), dan theology.
Cristian Wolff megklasifikasikan metafisika sebagai berikut: 1. Metafisika Umum (Ontologi) membicarakan tentanag hal “ada” (being). 2. Metafisika Husus. Metafisika husus terbagi menjadi tiga. 1). Psikologi; membicarakan tentang hakikat manusia. 2). Kosmology; membicarakan hakikat atau asal usul alam semesta. 3). Theology; membicarakan tentang hakekat keberadaan Tuhan. (Rizal Muntansyir dan Misnal Munir, 2002: 11).  Hakikat itu dapat terselami sampai pada dasarnya bila proses kecurigaan (asumsi) terus dilakukan. karena Ilmu bertujuan untuk mengerti mengapa hal itu terjadi, sebab sebuah pengetahuan baru dianggap benar selama kita bisa menerima asumsi yang dikemukakannya. (Jujun S. Suriasumantri, 2001: 6). Untuk lebih jelas berikut adalah pembahasan mengenai “Ontologi” dalam beberapa asumsi.

B.      Asumsi-Asumsi
a.       Ontologi
                Persoalan ontologi sebagai salah satu cabang dari filsafat yang ingin mencari dan menemukan hakikat dari sesuatu yang ada, adalah merupakan persoalan filsafat yang paling tua. Louis dalam bukunya Pengantar Filsafat (Elements of Philosophy), menuliskan, awal mula alam pikiran mengenai ontologi diantara Filusuf Barat yang dikenal, ialah orang Yunani yang bernama Thales, ia berkesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang merupakan asal mula dari segala sesuatu. (Soejono Soemargono, 1996:191).
                Istilah ontologia pertama kali digunakan oleh Rudolf Goclenius pada 1636. Yang lainnya seperti Abraham Calovius menggunakan istilah ini bersama-sama dengan methaphisyca. Johanes Clauberg seorang penganut Descartes, memakai istilah ontosophia untuk merangkum persoalan ontologi itu. Tetapi ontologia sebagai istilah filsafat akhirnya dibakukan oleh Cristian Wolff (1679-1754) dan Alexander Gottllieb (1714-1762) (Musa Asy’arie, 2001:39).
                Menurut Lorens Bagus. Ontologi  dalam bahasa Inggris “ontology” berakar dari bahasa Yunani “on” berarti ada, dan “ontos” berarti keberadaan. Sedangkan “logos” berarti pemikiran. Jadi ontologi adalah pemikiran mengenai yang ada dan keberadaannya. (Suparlan Suhartono, 2008: 111). Lebih lanjut dijelaskan, beberapa karakteristik ontologi, antara lain;[2]
1.       Ontologi adalah studi tentang arti “ada” dan “berada” tentang ciri-ciri esensial dari yang ada dalam dirinya sendiri menurut bentuknya yang paling abstrak.
2.       Ontologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tata dan struktur realitas dalam arti seluas mungkin, dengan menggunakan kategori-kategori seperti: ada atau menjadi, aktualitas atau potensial, nyata atau penampakan, esensi atau eksistensi, kesempurnaan, ruang dan waktu, perubahan dan sebagainya. Hal yang sama juga dapat dibaca pada Louis O. Kattsoff alih bahasa oleh (Soejono Soemargono, 1996:191-213)
3.       Ontologi adalah cabang filsafat yang mencoba melukiskan hakikat terakhir yang ada, yaitu Yang Satu, Yang Absolut, Bentuk Abadi, Sempurna dan keberadaan segala sesuatu yang mutlak bergantung kepada-Nya. (Suparlan Suhartono, 2008: 111).
Ontologi juga merupakan cabang filsafat yang mempelajari tentang status realitas apakah nyata atau semu, apakah pikiran itu nyata, dan sebagainya. (Suparlan Suhartono, 2008: 111-112)
                Ahmad Tafsir mengatakan ontologi merupakan “teori hakikat” seperti telah disebutka diatas pembahasan tentang teori hakikat ini sangat luas. Segala yang ada atau mungkin ada. Hakikat ialah realitas artinya kenyataan yang sebenarnya, bukan keadaan sementara atau keadaan yang menipu, bukan keadaan yang berubah.
Dalam pemahaman ontologi, membahas mengenai realitas benda-benda. Apakah sesuai dengan penampakannya (appearence) atau sesuatu yang tersembunyi dibalik penampakannya itu? Menjawab pertanya tersebut paling tidak ada lima aliran, yaitu materialisme, idealisme, dualisme, skeptisisme dan agnotisisme. Kelima aliran tersebut akan dibahas berikut. Yang telah diuraikan oleh Ahmad Tafsir sebagai berikut:
Materialisme sering juga disebut dengan naturalisme, menurut aliran ini, hakekat benda itu adalah materi, benda itu sendiri. Rohani, Jiwa, Spirit dan sebangsanya muncul dari benda. (Ahmad Tafsir, 2000:28-29)
Idealisme berpendapat sebaliknya; hakikat benda adalah rohani,spirit atau sebangsanya. Alasanaya, nilai roh lebih tinggi dari badan, manusia lebih dapat memahami dirinya daripada dunia luar dirinya, dan materi ialah kumpulan energi yang menempati ruang, benda tidak ada, yang ada hanyalah energi.
Dualisme yang merupakan hakikat pada benda itu ada dua, materi dan immaterial, benda dan roh, jasad dan spirit. Materi bukan muncul dari roh, dan roh bukan muncul dari materi. Kedua-duanya sama-sama hakekat. Kesulitan yang dihadapi oleh aliran ini ialah menjawab pertanyaan. Bagaimana kesesuaiannya bagi manusia? Jawabnya sudah distel seperti tenaga dan jarum pada jam. (Ahmad Tafsir, 2000:28-29)
Dualisme menurut N. Driyarkara, adalah Eksistensialisme, aliran ini muncul merupakan reaksi dari materialisme dan idealisme. Kedua aliran tersebut sangat ekstrim dalam memandang tentang manusia. Menurut materialisme, manusia itu hanyalah sesuatu yang hanya ada, tanpa menjadi subyek. Hal demikian itu oleh Sartre disebut “en-soi” yang sebaliknya ialah “pour-soi” adalah sesuatu yang sadar akan diri sendiri, jadi yang berpikir. Itulah aspek yang dilupahkan oleh materialisme. Akan tetapi sebaliknya itu dilebih-lebihkan oleh idealisme. (N. Drijarkara, 1989:58-62)
Eksistensialisme mengatakan manusia adalah eksistensi. Kasistensi disamakan “Dasein” Heidegger mengatakan “Das wesen des Desein ligt in seiner Existenz”  artinya wujud dari Desein ialah Existenz atau berada dengan menempat samalah dengan berada dengan keluar  dari diri sendiri dengan demikian manusia justru menduduki dirinya sendiri dan berkata “Aku” dia adalah dirinya sendiri yang “membelum” jadi ia selalu menyedang. (N. Drijarkara, 1989:58-62)
Skeptisisme berpendapat diragukan apakah manusia mampu mengetahui hakikat. Mungkin dapat, mungkin tidak.
Agnostisisme menyerah sama sekali. Bahwa manusia tidak dapat mengetahui hakikat benda. A artinya not, gno = Know didalam bahasa Grik agnostos berarti unknown. (Ahmad Tafsir, 2000:28-29)

b.      Asumsi-asumsi
                Asumsi merupakan kecurigaan atau dugaan-dugaan yang didasarkan pada dasar-dasar ilmiah, bukan preyudes, setelah ada kecurigaan dalam pemikiran, baru diidentifikasi dengan melihat indikator-indikator  teori dan realitas yang ada. Apakah gejalah-gejalah yang terjadi dalam alam ini tunduk pada determinisme, atau pilihan bebas, atau probabilistik?
                Determinisme, yakni hukum alam yang bersifat universal, ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala merupakan akibat pilihan bebas, ataukah keumuman itu memang ada namun berupa peluang, sekedar tangkapan probabilistik. Ketiga masalah ini, merupakan permasalahan yang rumit namun menarik. Tanpa mengenal ketiga aspek ini, serta bagaimana ilmu samapai pada pemecahan masalah yang merupakan kompromi , akan sukar bagi kita untuk mengenal hakikat keilmuan dengan baik. (Jujun S. Suriasumantri,F. Ilmu, 2001: 73).
                Menarik ilustrasi yang disampaikan oleh Jujun, karena ia memulainya dengan cerita:
“Suatu hari pada zaman wild west, seoarang jago tembak yang kenamaan ditantang oleh seorang petani yang mabuk. Petani ini adalah orang biasa, jadi sama sekali bukan tipe jango, yang bisa tembak sana tembak sini sambil tutup mata, setelah ia minum wiski dan melahap 16 jenis masakan pesta. Cuma karena mabuk saja dia berlagak jadi jagoan disebabkan otaknya yang sedang aut dari udara. Kalau waras, mana berani dia menantang penembak profesional yang sudah punya reputasi seantero dunia. Dunianya koboi tentu saja.” (Jujun S. Suriasumantri,F. Ilmu, 2001: 73).
                Akhirnya orang yang ada disekeliling arena tersebut mulai membicarakan taruhannya siapa yang akan menang dalam pegelaran besar tersebut. kondisi mulai riuh, karena semua orang sibuk memikirkan, karena pegelaran kali ini merupakan pegelaran yang baru bagi mereka. Dalam kebingungan itu para petaruh ada yang lagi melakukan komunikasi lewat handpone kepada dosen filsafat ilmu. Dosen tersebut mulai menganalisa seandainya pistol si Jango punya kehendak sendiri, kan bisa berabe? Berabi gimana? Ya, mungkin saja pistol itu tidak mau menembak orang yang berdosa, apalagi seorang nonpropesional yang belum diakreditasi. Ah itu nonsens, jawab bandar taruhan, itu terlalu bersifat akademik dan sangat spekulatif, mana ada pistol punya pilihan bebas. Sekiranya pistol ditembakkan dan tepat pada sasaran maka secara deterministik  sasaran itu akan kena. Okey jawab konsultan, namun bagaimana kalau pistonya macet? Macet bagaimana? Ya macet, klik! Jawab konsultan itu. Dari data yang dapat dikumpulkan ternyata dari 100 peluru yang ditembakkan sebuah pistol maka satu di antaranya adalah macet. Artinya secara probabilistik, meskipun peluangnya 1 dalam seratus, mungkin saja pistol jago kita itu macet, yang menyebabkan dia tersambar “chance” (kebetulan) berupa nasib. Sehingga petaruh tersebut kembali berpikir dan merenung setelah menutup handpone dari konsultannya tanpa kepastian. (Jujun S. Suriasumantri,F. Ilmu, 2001: 73).
                Sebuah pengetahuan baru dianggap benar selama kita bisa menerima asumsi yang dikemukakannya. ilmu bertujuan untuk mengerti mengapa hal itu terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa dengan asumsi yang berbeda kita sampai pada kesimpulan yang berbeda pula. Sehingga bila terjadi seperti cerita diatas, kita harus memilih kesimpulan yang mempunyai asumsi yang dapat kita terima.
                Kaum rasionalis telah membuktikan bahwa kebenaran ditemukan dalam akal. Kaum empiris, seluruh pengetahuan diturunkan dari pengelaman. Mereka berupaya untuk membangun dalam mencari kebenaran. Katakonci yang tepat ialah; kepercayaan sejati (rasional) yang dibenarkan (empiris). (Julian Baggini, 2004: 51-52). Berikut asumsi-asumsi yang akan menghantarkan kepada kebenara.
                Secara lebih terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai obyek empiris. Asumsi pertama menganggap obyek-obyek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa obyek yang serupa kedalam satu golongan. Dan ilmu tidak berbicara mengenai kasus individu melainkan suatu kelas tertentu yang anggotanya mempunyai ciri-ciri tertentu yang sempurna.
                Asumsi yang kedua adalah anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu obyek selalu berubah-ubah tiap waktu. Walaupun begitu tidak mungkin kita menuntut adanya kelestarian yang absolut, sebab alam perjalan waktu tiap benda akan mengalami perubahan. Oleh sebab itu ilmu hanya menuntut adanya kelestarian dalam jangka waktu tertentu. Kelestarian relatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan kita untuk melakukan pendekatan keilmuan terhadap obyek yang sedang diselidiki.
                Asumsi yang ketiga adalah determinisme yang menganggap setiap gejalan bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan-urutan kejadian yang sama. Dan ilmu juga tidak menuntut hubungan sebab akibat yang mutlak. Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik). Dan dasar statistika adalah peluang. Statistiak memiliki peranan yang menentukan dalam persyaratan-persyaratan keilmuan sesuai dengan asumsi ilmu tentang alam. Tanpa statistika hakekat ilmu akan sangat berlainan. (Jujun S. Suriasumantri,F. Ilmu, 2001: 73). Lihat juga (Burhanuddin Salam, 1997: 86-87)
                Determinisme adalah teori yang mengatakan bahwa segala sesuatu dalam alam ini, termasuk manusia, diatur oleh hukum sebab musabab (kausal). Ia mengatakan bahwa apa saja yang terjadi pada suatu waktu adalah hasil dari yang pernah terjadi pada waktu sebelumnya. (Harol H. Titus dkk, 1984: 97)
       Seorang ilmuan harus benar-benar mengenal asumsi yang digunakan dalam analisis keilmuannya, sebab mempergunakan asumsi yang berbeda, maka berbeda pula konsep pemikiran yang dipergunakan. Sering kita jumpai bahwa asumsi yang melandasi suatu kejadian keilmuan tidak bersifat tersurat (ahkam) melainkan tersirat (mutasyabih). Asumsi yang tersirat ini terkadang menyesatkan, sebab selalu mendapat kemungkinan bahwa kita berbeda penafsiran tentang sesuatu yang tidak dinyatakan, oleh karena itu maka untuk pengkajian ilmiah yang lugas lebih baik digunakan asumsi yang tegas.  
Asumsi merupakan dugaan-dugaan sementara yang belum jelas kebenarannya, karena belum ada fakta pendukung yang valid. Ilmu sebagaii pengetahuan yang berfungsi membantu dalam memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidaklah perlu memiliki kemutlakan seperti halnya agama. Walaupun demikian sampai tahap tertentu ilmu memiliki keabsahan dalam melakukan generalisasi. Dalam pengeneralisasi kebenaran, dalam kajian filsafat ilmu, tentu harus dilandasi oleh gagasan rasionalis empiris. Sehingga asumsi tersebut dapat dikatakan benar secara non verbal (kasybi).

C.      Kesimpulan
Dari uraian diatas dapatlah dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Adanya filsafat dapat membantu apa-apa yang tidak dapat dipecahkan melalui ilmu, terutama berkaitan dengan hakikat sesuatu yang “ada” atau “mungkin ada”. Dan, ontologi salah satu dari lapangan penyelidikan falsafi, merupakan the first philosophy atau filsafat yang pertama. Yang telah memiliki berbagai penyebutan dalam mengenai hakikat “realitas” paling tidak ada lima aliran, yaitu materialisme, idealisme, dualisme, skeptisisme dan agnotisisme.
Sebuah pengetahuan baru dianggap benar selama kita bisa menerima asumsi yang dikemukakannya. Dan berkaitan dengan ilmu ada tiga asumsi. Pertama, ada keserupaan anatara obyek-obyek yang ada. Kedua, suatu benda tidak mengalami perubahan pada jangka waktu tertentu. Dan ketiga, setiap kejadian bukanlah bersifat kebetulan (determinisme). Bahwa hukum itu berlaku kapan saja dan dimanana saja.
Asumsi dapat dinyatakan benar secara non verbal (kasybi), bila asumsi  tersebut dapat diuji secara rasionalis empiris.



DAFTAR PUSTAKA
lengkapnya dapat anda kirim permohonan.....kwa...
e-mail sj kalau memang perlu: musliminhaiz@gmail.com



[1] Makalah disampaikan oleh Muslimin (NIM: 090103041) JS II pada seminar kelas mata Kuliah: Filsafat Ilmu dengan Dosen Pembimbing, Prof. Dr. Jalaluddin. 10 Oktober 2009.
[2] Untuk mengetahui garis besar mengenai ontologi Lorens, dapat membaca resensi yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno, Filsafat Dasar: Metafisika sekitar sebuah karya Dr. Lorens Bagus. Pada Majalah Filsafat “DRIYARKARA” Th XX, No. 3, 1993/1994.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar