Translate

Rabu, 29 Mei 2013

Filsafat Al-Razi dan Al-Farabi


PEMIKIRAN FILSAFAT Al-RAZI DAN AL-FARABI
Oleh: Muslimin 
ABSTRAK
Filsafat sebagai alat untuk mencari jawaban kebenaran mengenai efistimologi, ontologi  dan aksiologi, agar tercapai hakikat kebijaksanaan. Didalam Islam sebenarnya sudah dimulai sejak Muhammad diutus oleh Allah swt. Muhammad saw. Melakukan dialektika dengan realitas sosial, tentu saja membutuhkan konseptual untuk memahami dinamika dan perubahan masyarakat, wahyu pertama kali yang diwahyukan Allah kepada Nabi Muhammad saw. melalui malaikat jibril “Iqra` bismi rabbikal lazii khalaq” mengidentipikasikan ada proses konseptual “iqra`” merupakan fi’il amr dari kata qara`a yaqra`u yang memiliki arti to peruse (membaca dengan teliti)(Hans Wehr, 1980: 753). Proses membaca dengan teliti inilah yang dinamakan filsafat, yang didalam al-Qur`an dikenal dengan al-hikmah. Lihat Q.S. al-Jumu’ah; 2.
Pada masa pemerintahan Harun Al-Rasyid (786-803 M) dan anaknya al-Makmun (813-833 M) Islam mencapai puncak keemasannya dalam bidang keilmuan dan filsafat, pada masa al-Makmun buku-buku Yunani yang berisi berbagai ilmu pengetahuan dan filsafat mulai diterjemahkan. Diantara penerjemah yang tenar ialah Yuhana, Hunain dan anaknya Ishaq  dan lain-lain. Untuk kegiatan tersebut al-Makmun mendirikan perpustakaan yang diberi nama “Bait al-Hikmah”. Sejak itulah kaum Muslimin mulai giat mempelajari buku-buku Yunani dan Suryani tersebut. (Harun Nasution, 1985: 68).
Embrio penerjemahan karya-karya Yunani tersebut mulai berkembang biak pada abad kesembilan, tepatnya pada masa al-Kindi (w. 866 M)  dilanjutkan oleh al-Razi, al-Farabi dan seterusnya. Sehingga wajar pada periode awal dalam kajian filsafat banyak dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles dan Platonis. Namun bagaimanapun perdebatan antara indra, akal dan intuisi dalam kajian  filsafat oleh orang Islam (filosuf islam) menemui titik klimaks yang disebut yang Mahabijaksana (Allah Az-Zawajallah). Ahmad Tafsir, 1990: 6) Dan untuk melihat kajian tersebut cukuplah dengan pembahasan al-Razi dan al-Farabi berikut ini.
A.    Biograpi Al-Razi (856/863-925/935 M)
            Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Ar-Razi lahir di Ray, suatu kota di dekat Teheren, di tahun 856/863 M dan wafat pada tahun 925/935 M. Ia pernah menjadi Direktur rumah sakit terbesar yang berada di Bagda. Ia terkenal di Barat dengan nama Rhazes. (Harun Nasution, 1999: 15).
            Al-Razi dikenal sebagai dokter kerna karyanya yang berjudul Al-Hawi, buku tersebut merupakan ensiklopedia tentang ilmu kedokteran, tersusun lebih dari 20 jilid, yang mengandung ilmu-ilmu kedokteran Yunani, Siria dan Arab.  Dan menurut Harun Nasution, telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa dan digunakan di Eropa sampai abad 17 M. (Harun Nasution, 1999: 15). Yang membuat Al-Razi termotifasi untuk menjadi ahli dalam bidang ilmu kedokteran, pada masa mudanya dia sangat sibuk dengan kimia, sehingga menyebabkan kedua matanya terkontaminasi oleh obat-obatan. Ketika ia datang kepada dokter yang memintanya lima tarus dinar sebagai ongkos penyembuhannya, ia menyimpulkan bahwa dunia kedokteran telah dijadikan alat untuk mencari kekayaan. Ia mengatakan “ini adalah suatu bencana; aku tidak ingin seperti itu”  sehingga ia bertekad untuk mengobati orang-orang yang sakit tanpa bayar di rumah sakit yang ia kelola. (Husayn Ahmad Amin, 1999: 121).
            Tugas seorang dokter di samping mengetahui kesehatan jasmani (at-thibb al-jasmani) adalah juga mengetahui kesehatan jiwa (at-tibb al-ruhani). Agar terjadi keseimbangan antara jiwa dan jasmani dalam aktifitas-aktifitasnya. Kedua hal ini tercamtum dalam tulisannya; Al-Thibb al-Mansuri dan Al-Thibb al-Ruhani. pada kitab ini Al-Razi membahas tentang keutamaan dan kemulian akal, pengendalian hawa nafsu, sebab-sebab kecacatan jiwa, etika pemikiran plato, kejelekan jiwa dan aib-aibnya, takut mati dan sebagainya. (Zainun Kamal, 1995: 13). Lihat juga (Sudarsono, 1996: 56)
            Dalam bidang filsafat, menurut Majid Fakhri, kurang lebih dua ratus karyanya yang hilang, seperti Methafiphisics According to Plato’s View, Metaphisics According to  Socrates` View, Commentary on the Timaeu, dan sebagainya. Didalam bidang kedokteran Al-Razi tidak ada tandingannya, tetapi sebagai Filosof, reputasinya tercoreng oleh tuduhan-tuduhan tidak berdasar, seperti kemurtadan dan kesesatan dari agama. (Majid Fakhri, 2001:36). Tuduhan itu datang karena Keberaniannya berpendapat bahwa, Al-Razi tidak percaya terhadap wahyu, Qur`an bukanlah mukjizat, tidak percaya terhadap Nabi-Nabi dan adanya hal-hal yang kekal dalam arti tidak bermula dan tidak berakhir selain Tuhan, yang dikenal dengan filsafat lima kekal.   (Harun Nasution, 1999: 19).
            Ar Razi percaya kalau tanpa bantuan rasul-rasul sekalipun, akal manusia pasti mampu untuk menuntun ke jalan Tuhannya. Mampu mengetahui baik dan buruk segala sesuatu selama manusia mau menggunakan akalnya. Dan keberadaan Nabi-Nabi dengan ajarannya yang saling bertentangan dan tumpang tindih satu sama lain itu hanya menimbulkan kehancuran dan saling benci membenci diantara umat manusia yang tak jarang meningkat menjadi peperangan antar umat beragama yang berakhir dengan pertumpahan darah. Tak hanya Islam, semua agama ia kritik. Menurut beliau, orang tunduk kepada agama sebenarnya hanya karena faktor tradisi belaka. (bandingkan pengantar penerbit dalam buku Tekstualitas al-Qur`an, mengenai as-saqafy). Sebagian lainnya, karena kekuasaan yang dipunyai pemuka-pemuka agama, dan atau karena tertarik dengan ritual-ritual agama. Untuk ritual-ritual agama sendiri Ar Razi punya pandangan sinis dan muram bahwa upacara-upacara itu bila dikerjakan secara berkesinambungan dan terus menerus dapat mengakibatkan kecanduan, dan lebih buruk merupakan alat yang efektif untuk mencuci otak jiwa rakyat yang sederhana dalam pemikiran.

B.     Pemikiran Ar-Razi Tentang Filsafat
Falsafat lima kekal.  Falsafatnya terkenal dengan doktrin lima yang kekal: Tuhan (البارى تعالى), Jiwa Universal (النفس الكلية), Materi Pertama (الهيول الأولى) , Ruang Absolut (المكان المطلق)  dan Zaman Absolut  (الزمان المطلق)(Harun Nasution, 1999: 16).
            Mengenai yang terakhir ia membuat perbedaan antara zaman mutlak dan zaman terbatas yaitu antara ad-dahr, duration dan al-waqt, time. Ad-dahr kekal dalam arti tidak bermula dan berakhir, sebaliknya al-waqt disifati oleh angka. (Harun Nasution, 1999: 16).
            Lebih lanjut dijelaskan Harun, Bagi benda (being) kelima hal ini ada: Pertama. materi: merupakan apa yang ditangkap oleh panca indra tentang benda itu. Kedua, ruang: karena materi mengambil tempat. Ketiga, zaman: karena materi berubah-ubah keadaannya.
Di antara benda-benda ada yang hidup dan oleh karena itu perlu roh. Dan diantara yang hidup ada pula yang berakal yang dapat mewujudkan ciftaan-ciftaan yang teratur. Semua ini perlu pada Penciftaan yang Mahabijaksana lagi Mahatahu.
Diantara lima kekal tersebut ada yang hidup dan aktif seperti Tuhan dan roh, materi tidak hidup dan pasif, sedangkan ruang dan masa tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif. (Harun Nasution, 1999: 16).
Materi adalah kekal, karena creation ex nihilo (penciftaan dari tiada) merupakan suatu hal yang tak mungkin. Kalau materi kekal, ruang mesti kekal; karena materi tak boleh tidak mesti bertempat dalam ruang. Karena materi mengalami perubahan, dan perubahan menandakan zaman, maka zaman mesti kekal pula kalau materi kekal. (Harun Nasution, 1999: 16).
Materi pertama atau materi absolut mempunyai bentuk atom yang masing-masing mempunyai volume. Atom yang padat merupakan atom tanah, yang agak jarang air. Yang lebih jarang atom udara dan yang lebih jarang lagi atom api. Kalau alam ini hancur; atom-atomnya akan bercerai berai kembali. Karena alam tidak kekal. (Harun Nasution, 1999: 17).
Manusia yang terdiri dari jasmani (materi) dan rohani (immateri) menurut Al-Razi proses perjumpaannya merupakan ketertarikan roh terhadap materi absolut, sehingga roh terperdaya oleh materi, kerana itu Tuhan memberikan pemikiran (akal) bagi manusia yang berasal dari zat Tuhan, dan roh tersebut dapat disucikan kembali dengan jalan berfilsafat. (Harun Nasution, 1973: 16-19). Tentu saja karena akal yang diberikan oleh Albari lansung dari zat-Nya, maka menurut al-Razi kita tidak perlu lagi dengan wahyu dan nabi, karena akal sudah dapat membimbingnya kejalan yang benar. Dan Tuhan akan memaklumi dan memaafkan mereka. Sebab tidak ada pertanggungjawaban atas hal-hal yang berada di luar batas kemampuan manusia. (Majid Fakhri, 2001: 40).
Albari Ta’ala kekal secara zat dan kekal secara zaman. Sementara jiwa universal, materi pertama, ruang absolut, dan zaman absolut hanya kekal secara zaman saja. Pada prisnsipnya sesuatu yang bersumber dari yang kekal, pasti kekal juga. Jadi kekekalan jiwa universal, materi pertama, ruang absolut, dan zaman absolut dikarenakan kekekalannya Albari.
Menurut Ar-Razi materi adalah kekal karena creatio ex nihilo (penciptaan dari tiada) merupakan hal yang tak mungkin keabadian materi dapat didemonstrasikan dengan dua cara yaitu yang pertama; penciptaan, yaitu tindakan materi yang sedang dalam pembentukan, mensyaratkan (adanya) bukan saja seorang pencipta yang telah mendahuluinya, tetapi juga sebuah substratum atau materi dimana tindakan itu melekat. Salah satu contoh yang diajukan Ar-Razi tentang kekekalan materi adalah bahwa Tuhan tidak menciptakan semua hal dari tiada, dan salah satunya adalah tentang penciptaan dunia ini. Dunia menurut pendapatnya diciptakan dari materi tanpa bentuk dan bukan dari abra kadabra. Materi tanpa bentuk yang menjadi bahan pembuatan dunia inilah yang kemudian diyakini telah ada bersama Tuhan yang juga tak berawal itu. Jadi, karena Tuhan kekal maka bisa dipastikan bahwa materi juga kekal.
Meskipun materi itu kekal, bukan berarti alam juga kekal. Alam tidak kekal, karena seperti halnya tubuh, alam pun bisa hancur. Nah ketika alam dan tubuh ini hancur maka materi dan roh kemudian akan kembali ke asalnya semula.
Al-Razi mengutif Socrates dan Plato sebagai guru besar dan penghulu para filosof, menurutnya, jiwa dapat dibagi ke dalam tiga bagian. Pertama, jiwa rasional atau ilahi. Kedua, jiwa marah atau binatang. Ketiga, jiwa hasrat atau tumbuhan. Hubungan antara ketiganya itu menurut al-Razi terletak pada diransangnya tubuh sebagai wahana jiwa oleh hasrat dan digunakannya marah oleh rasio untuk mengendalikan hasrat. Tujuan utama jiwa adalah memahami watak aslinya sebagai subtansi mujarad (immaterial) dan berjuang demi menyatu kembali dengan alam kawruhan. Jika tidak jiwa akan senantiasa dibelit oleh penderitaan dan kecemasan yang mengerikan. (Majid Fakhri, 2001: 40).
Kebajikan ialah mengendalikan hasrat dan marah jiwa yang gandrung mereguk kenikmatan. Terutama kenikmatan asmara atau erotik (‘isyq). Dan juga penyakit takut mati. Karena kedua hal ini dapat memunculkan kecemasan. Bagi pemuja kenikmatan untuk segera kembali kepada kefitrahannya  dengan menyeimbangkan kenikmatan-kenikmatan tersebut dengan kesensaraannya. (Majid Fakhri, 2001: 40).
Lebih jauh, dalam filsafatnya mengenai hubungan manusia dan Tuhannya, ia condong kepada filsafat Pythagoras yang berpandangan bahwa kebahagiaan terbesar manusia baru bisa di raih ketika manusia bisa kembali kehadirat Tuhannya dengan jalan meninggalkan alam materi ini, karena menurutnya manusia baru benar-benar bisa kembali kepada Tuhannya bila jiwanya telah suci. Dan salah dua jalan yang bisa ditempuh manusia untuk mensucikan dirinya adalah dengan cara bergulat dengan ilmu pengetahuan dan berpantang mengerjakan beberapa hal. Kita tahu, dalam filsafat Pythagoras, cara mensucikan jiwa itu adalah melalui transmigration of Souls. Tapi paradox yang kemudian saya temui dari filsafat Ar Razi, adalah beliau tidak punya konsep apapun yang terperinci mengenai jalan pensucian jiwa ini selain kalimat “jalan mensucikan jiwa adalah filsafat”. Aneh memang, kenapa Ar Razi bisa teledor ini tentang penggelontoran ajaran filsafatnya? Maka karena tak ada kejelasan konsepsi ini pulalah yang kemudian banyak kalangan menuduh tindakannya itu menyerupai tindakan seorang zahid dalam hal dunia materi. Satu stigma yang begitu dibantah mati-matian oleh Ar Razi sendiri. (Majid Fakhri, 2001: 40).
Bantahan Ar Razi mengenai hal ini tersirat dari tulisannya sendiri di beberapa karyanya yang sangat menganjurkan tindak moderasi, yaitu jangan terlalu bersifat zahid tetapi jangan pula terlalu memburu kesenangan. Manusia harus menjauhi kesenangan yang dapat di peroleh hanya dengan menyakiti orang lain atau yang bertentangan dengan rasio. Tetapi sebaliknya manusia jangan sampai tidak makan atau berpakaian, tetapi makan dan berpakaian sekedar untuk memelihara diri. (Majid Fakhri, 2001: 40) dan (Harun Nasution, 1973: 16-19).

C.     Biograpi Al-Farabi (890-950 M)
            Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tarkhan bin Awzalagh lahir di kampung Wasij di Farab (Transatania). Ayahnya orang Iran dan ibunya orang Tukistan. Dibarat namanya dikenal sebagai Alpharabius (Miska Muhammad Amin, 1983: 38)
            Ia menguasai berbagai bahasa, Turki, Parsi, Kurdistan dan Arab. Pada mulanya ia mempelejari ilmu agama kemudian mempelajari ilmu-ilmu terutama matematika dan filsafat. Karena tertarik oleh kecermelangan Baghdad sebagai pusat ilmu dan budaya ia pindah kesana. Disana ia berjumpa dengan seorang penerjemah Abu Bisr Matius bin Yunus. Ia belajar mantik sampai mendapat gelar “guru kedua” ia pernah tinggal beberapa lama di Horran, salah satu pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil untuk berguru kepada Juhana bin Jilan. Juga pernah tiggal di Damsi. Kemudian kembali tinggal di Baghdad selama kurang lebih 20 tahun. Pada akhir hayatnya di tinggal di Alepo dan ia bertemu dengan para ulama, penyair, sastrawan dan ahli bahasa dalam istana Saeful Daulah. (H.A. Hidayat, 2005: 140-141). Dan (Nurkhalis Majid: 1984, 61).
            Beliau adalah seorang tabib yang kenamaan, seorang ahli ilmu pasti dan seorang filsuf yang ulung. Dan ia merupakan komentator yang tajam dalam karya Aristoteles.  Karangannya tidak kurang dari 128 buah kitab, yang terbanyak mengenai filsafat Yunani. Dalam karyanya Ihsanul ‘Ulum  (Ecyclopaedia of Science) beliau memberikan sesuatu tinjauan umum dari segala sains. Buku ini terkenal di Barat sebagai De Scientiis dari terjemahan latin oleh Gerard Cremona. (Sudarsono, 1996: 31).
            Sebagian besar karangan-karangan al-Farabi terdiri dari ulasan dan penjelasan terhadap filsafat Aristoteles, Plato, dan Galenus, dalam bidang-bidang logika, fisik dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas fikirannya, namun ia lebih dikenal sebagai pengulas Aristoteles. (Sudarsono, 1996: 31).
Diantara karangan-karangannya ialah:
·         Aghadlu ma Ba’da at-Thabi’ah
·         Al-jam’u baiana Rayi al-Hakimain (mempertemukan pendapat kedua filosof; Aristoteles dan Plato). Yang merupakan kumpulan dari buku-buku; Makalatuh fi Ma’ani al-‘Aqli, al-Jam’u baina Ra’yi Aflatun wa Aristo, Fima Yanbaghi qabla ta’allum al-Falsafah, Al-Ibandah ‘an Ghardi Aristo fi Kitabihi Mabadi Thabi’ah dan Al-Masail al-Fasafiyyah wa Al-Ajwibah anha.
·         Tahsin as-Sa’adah (mencari kebahagiaan)
·         ‘Uyun ul-Masail (pokok-pokok persoalan)
·         Ara`u Ahlil Madinah al-Fadhilah (pikiranpikiran penduduk kota utama negeri utama)yang inti sarinya menunjukkan bahwa kebesaran negara bergantung pada kahlakyang utama disatu pihak dan pada kerajinan dan industri di pihak lain.
·         Al-Musiqi al-Kabir, buku ini berisi teori-teori musik dan buku ini menunjukkan bahwa ia orang pertama yang menjadikan musik sebagai ilmu yang berdasar pada kaidah-kaidah teoritis. Oleh karena itulah, beberapa penulsi sejarah Arab menggangap bahwa degelarinya Al-Farabi sebagai “Guru Kedua” karena dialah orang pertama yang meletakkan dasar pokok ilmu bumi  (musik) sebagaimana Aristoteles degelari Guru Pertama karena dia peletak dasar pertama mantik. Menurut Fuad Al-Ahwani, dari karyanya tersebut menunjukkan bahwa Al-Farabi adalah filosof manusia, bukan alam. Guru Al-Farabi mengenai mantiq yang kerenanya digelari Guru Kedua menurut sebagian ahli sejarah telah hilang.
·         Ihsha`ul al-Ulum (statistik ilmu) (Sudarsono, 1996: 32). Yang berisi pembagian ilmu pengetahuan pada zamannya, juga pembagian ilmu menurut Aristoteles. Buku ini diterjemahkan kedalam bahasa latin dan mempunyai pengaruh pada filsafat Barat pada abad pertengahan. ( H.A. Hidayat, 2005: 141).
Al-Farabi adalah seorang filosof muslim dalam arti yang sebenarnya. Ia telah menciptakan sistem filsafat yang relatif lengkap, dan telah memainkan peranan penting dalam perkembangan pemikiran filsafat di dunia Islam. Ia menjadi anutan atau guru dari filosof-filosof Islam sesudahnya, seperti Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Al-Farabi terkenal sebagai filosof sinkretisme yang mempercayai filsafat. Al-Farabi berusaha memadukan beberapa aliran filsafat yang berkembang sebelumnya, terutama pemikiran plato dan plotinus, juga antara agama dan filsafat . Usaha Al-Farabi diperluas lagi, bukan hanya mempertemukan aneka aliran filsafat yang bermacam-macam, tapi ia berkeyakinan bahwa aliran-aliran tersebut pada hakikatnya satu, meskipun berbeda-beda corak dan macamnya. Menurutnya, tujuan filsafat itu memikirkan kebenaran. Al-Farabi berkeyakinan bahwa agama dan  filsafat tidak bertentangan, justru sama-sama membawa kebenaran. Hal ini terbukti dengan karangannya yang berjudul Al-Jami’ Baina Ra’yani Al-Hakimain dengan maksud mempertemukan pikiran-pikiran plato dengan Aristoteles. Kendatipun begitu, Al-Farabi juga mempertemukan hasil-hasil pemikiran filsafat dengan wahyu dengan bersenjatakan ta’wil (interpretasi batini). Al-Farabi umumnya dianggap sebagai pendiri dan seorang wakil paling terkemuka aliran utama filsafat Islam, yaitu aliran Masysyai
atau filosof-keilmuan. (Imam Sukardi, 2005: ix- xv). 
D.    Pemikiran Al-Farabi  Tentang Filsafat
            Falsafah Emanasi atau Pancaran; dengan filsafat ini al-Farabi mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari yang satu (emanasi). Tuhan bersifat Maha satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti banyak Maha Sempurna dan tidak berhajat pada apapun. Kalau demikian hakikat sifat Tuhan, bagaimana terjadinya alam materi yang banyak ini dari yang Mahasatu? Menurut al-farabi alam terjadi dari cara emanasi.
            Tuhan sebagai akal, berpikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini timbul suatu maujud lainya, Tuhan merupakan wujud pertama dan dengan pemikiran itu timbul wujud kedua yang juga mempunyai subtansi. Ia disebut akal pertama. Yang bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud pertama dan dari pemikiran itu timbul wujud ketiga disebut akal kedua. (Harun Nasution, 1999: 21)
            Wujud Kedua atau Akal Pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari situ timbullah Langit Pertama. (First Heaven. )
Wujud Ketiga/Akal Kedua
Tuhan = Wujud Ketiga / Akal Kedua
Dirinya           =  الكواكب الثابتةbintang-bintang
Wujud Keempat / Akal Ketiga
Tuhan = Wujud Keempat / Akal Ketiga
Dirinya           =  كرة الزهلSaturnus
Wujud Kelima/Akal Keempat
Tuhan = Wujud Kelima/ Akal Keempat
Dirinya           =  كرة المشترىJupiter
Wujud Keenam/Akal Kelima
Tuhan = Wujud Keenam/ Akal Kelima
Dirinya           =  كرة المريخMars
Wujud Ketujuh/Akal Keenam
Tuhan = Wujud Ketujuh/ Akal Keenam
Dirinya           =  كرة الشمشMatahari
Wujud Kedelapan/Akal Ketujuh
Tuhan = Wujud Kedelapan / Akal Ketujuh
Dirinya           =  كرة الزهرةVenus
Wujud Kesembilan/Akal Kedelapan
Tuhan = Wujud Kesembilan / Akal Kedelapan
Dirinya           =  كرة العطاردMercury
Wujud Kesepuluh/Akal Kesembilan
Tuhan = Wujud Kesepuluh / Akal Kesembilan
Dirinya           = كرة القمر Bulan
            Pada pemikiran Wujud Kesebelas / Akal Kesepuluh, berhentilah terjadinya atau timbulnya akal-akal. Tetapi dari akal Kesepuluh muncullah bumi serta roh-roh dan materi pertama yang menjadi dasar dari keثmpat unsur: api, udara, air dan tanah. (Harun Nasution, 1999: 21-22)
            Jadinya ada sepuluh akal dan sembilan langit (dari teori Yunani tentang sembilan langit) yang kekal berputar sekitar bumi. Akal kesepuluh mengatur dunia yang ditempati manusia ini. Tentang qidam  (tidak bermulanya) atau barunya alam. Al-Farabi mencela orang yang mengatakan bahwa alam ini menurut Aristoteles adalah kekal. Menurut al-Farabi alam terjadi dengan tak mempunyai permulaan dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara beransur-ansur, tetapi sekaligus dengan tak berwaktu. Alam terjadi melalui ciftaan sekaligus tanpa waktu oleh Tuhan yang Maha Agung.
Tujuan dari filsafat emanasi ini, al-Farabi menjelaskan bahwa segala sesuatu itu berasal dari yang satu, yaitu wujud pertama. Ini juga mengindikasikan batas kemampuan manusia untuk berfikir mengenai pencipta dan ciptaannya. Dan Allah sebagai wujud yang pertama juga menunjukkan identitas dan eksistensinya sebagai pencipta. Terlihat pada teks berikut “Kuntu kanzaan makhfiyyan fahbabtu an u’rif fakhalaqtul khalqa fabyi ‘arfuny”).
            Tidak jelas apa yang dimaksud al-Farabi. Sebagian penyelidik berpendapat bahwa bagi al-Farabi alam ini baru. Tetapi De Boer mengartiakn alam bagi al-Farabi qadim (tidak bermula). Yang jelas bahwa materi asal dari alam memancar dari wujud Allah dan pemancaran itu terjadi qidam. Pemancaran diartikan penjadian. Materi dan alam dijadikan tetapi mungkin sekali bersifat qidam. (Harun Nasution, 1999: 23).
            Jiwa manusia sebagaimana halnya dengan material asal memancar dari Akal Kesepuluh. Sebagaimana Aristoteles, ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya. Daya-daya tersebut ialah:
Pertama, Gerak, yang terdiri dari daya makan, memelihara dan berkembang. Kedua, Mengetahui, yang terdiri dari perasaan dan imanjinasi. Ketiga, Berpikir, yang terdiri dari akal praktis dan akal teoritis
Akal berpikir terdiri dari tiga tingkat:
Pertama, Akal potensial yang baru mempunyai potensi berpikir dalam arti siap melepaskan arti dan bentuk sesuatu dan materinya. Kedua, Akal aktual, yaitu telah dapat melepaskan arti dari materinya. Ketiga, Akal mustafad, yaitu yang telah dapat menangkap bentuk semata-mata.
            Manusia menurut Farabi memiliki potensi untuk menerima bentuk-bentuk pengetahuan yang terpahami (ma’qulat) atau universal-universal. Potensi ini akan menjadi aktual jika ia disinari oleh Intelek Aktif. Pencerahan oleh Intelek Aktif memungkinkan transformasi serempak intelek potensial dan obyek potensial ke dalam aktualitasnya. Al-Farabi menganalogkan hubungan antara akal potensial dengan Akal Aktif seperti mata dengan matahari. Mata hanyalah kemampuan  potensial  untuk melihat selama dalam kegelapan, tapi dia menjadi aktual ketika menerima sinar matahari. Bukan hanya obyek-obyek indrawi saja yang bisa dilihat, tapi juga cahaya dan matahari yang menjadi sumber cahaya itu sendiri. (Harun Nasution, 1999: 24).
Di samping itu, intelek manusia sendiri memiliki apa yang disebut dengan pengetahuan primer. Pengetahuan primer ada dengan sendirinya dalam intelek manusia dan kebenarannya tidak lagi membutuhkan penalaran sebelumnya. Pengetahuan ini misalnya bahwa tiga adalah angka ganjil atau bahwa keseluruhan lebih besar dari bagiannya.
Intelek potensial yang sudah disinari akan berubah menjadi bentuk yang sama dengan pengetahuan primer yang diterimanya sebagai bentuk tersebut. Untuk menggambarkan proses ini, al-Farabi menganalogkan dengan sepotong benda yang masuk ke dalam lilin cair, benda terseut tidak hanya tercetak pada lilin, tapi ia juga merubah lilin cair tersebut menjadi sebuah citra utuh benda itu sendiri sehingga ia menjadi satu. Atau, bisa juga dianalogkan dengan sepotong kain yang masuk ke dalam zat pewarna. Perolehan aktualitas oleh akal potensial  menjadi sempurna jika proses ini tidak hanya berkaitan dengan pengetahuan primer, tapi juga dengan pengetahuan yang diupayakannya. Pada tahap ini, intelek aktual merefleksikan dirinya sendiri. Kandungan intelek aktual adalah pengetahuan murni. Intelek aktual dapat mengetahui dirinya sendiri karena ia merupakan intelek sekaligus pengetahuan itu sendiri. Ketika intelek aktual sudah sampai pada tahap ini, ia menjadi apa yang disebut al-Farabi dengan intelek perolehan atau al-aql al-mustafad atau acquired intelect. ( Zainul Hamdani, tt).
Dengan demikian, intelek perolehan merujuk pada intelek aktual ketika mencapai tahap mampu memposisikan diri sebagai pengetahuan (self-intelligible) dan bisa melakukan proses pemahaman tanpa bantuan kekuatan lain (self-inttellective). Intelek perolehan adalah bentuk intelek manusia paling tinggi. Intelek perolehan adalah yang paling mirip dengan dengan Intelek Aktif karena keduanya memiliki kandungan yang sama. Di samping itu, akal perolehan juga tidak membutuhkan raga bagi kehidupannya dan tidak membutuhkan kekuatan fisik badani untuk aktifitas berpikirnya. ( Zainul Hamdani, tt).
Al-Farabi juga membahas tentang Falsafat Kenabian, Filusuf dan Nabi dapat mengetahui hakikat karena dapat berkomunikasi dengan sumber yang satu yaitu; Akal Kesepuluh, filusuf melalui usaha sendiri yaitu dengan cara berpikir melalui akal mustafad. Sedangkan Nabi menjalin komunikasinya melalui wahyu, dengan daya imajinasi yang begitu kuat sehingga sehingga dapat berhubungan dengan Akal Kesepuluh, sehingga terlepas dari pengaruh-pengaruh panca indra. Dengan demikian al-Farabi menjelaskan bahwa tidak ada pertentangan antara falsafat dan wahyu. (Harun Nasution, 1999: 25)
Falsafah kenabian rapat hubungannya dengan teori politik al-Farabi. Sebagaimana badan manusia, mempunyai bagian-bagian yang memiliki fungsi-fungsi tertentu yang harus dijalankan untuk kepentingan seluruh badan. Dalam kota (masyarakat) harus diberikan pekerjaan yang sepadan sesuai dengan kemampuan. Pekerjaan yang terpenting dalam masyarakat ialah pekerjaan kepala masyarakat. Yang dalam tubuh manusia serupa dengan akal. Dan menurutnya Rasullah yang tepat sebabai pengatur di bumi kita ini, karena ia memiliki akal mustafad dan yang telah melakukan komunikasi dengan Akal Kesepuluh. Sehingga tercapai masyarakat yang madani.
Pengatmatan al-Farabi mengenai jiwa (ruh) dan badan (jasmani). Al-Farabi membaginya kedalam tiga bentuk, yang dikedal dengan model city. Pertama al-Madinah al-Fadhilah. (disini jiwa akan kekal, ia tidak hancur walaupun berpisah dengan badan) Kedua al-Madinah al-jahilah (hedonisme, jiwanya akan hancur bersama hancurnya badan) dan Ketiga al-Madinah al-Fasiqah. Pengetahuannya sama dengan al-Madinah al-Fadhilah, tapi prilakunya seperti al-Madinah al-Jahilah. Jiwanya akan kekal dalam kesensaraan. (Harun Nasution, 1999: 26-27).

E.     Perbandingan Filsafat Ar-Razi , Al-Farabi dan Pengaruhnya
Ar-Razi dalam falsafahnya mengenai hubungan manusia dengan Tutan ia dekat kepada falsafat Pytahagoras (pahamnya; transmigration of soul) yang memandang kesenangan manusia ialah kembali kepada Tuhan, dengan pensucian roh, dan roh dapat disucikan dengan ilmu pengetahuan.
Falsafah lima yang kekal, menurut Ar-Razi  selain Tuhan dalam artian tidak bermula dan tidak berakhir ada juga yang kekal. Dan disinilah letak perbedaan keduanya, karena al-Farabi berpaham sebaliknya. Selain itu juga al-Farabi berbeda dengan Ar-Razi dalam keberadaan Nabi dan Fillusuf, serta posisi wahyu.
Pengaruh filsafat yang dianut oleh Ar-Razi, menurut umat islam sangat bertentangan dengan ajaran keislaman, karena ia tidak percaya terhadap wahyu, al-Qur`an bukan mukjizat dan tidak percaya terhadap kenabian. Menurut An-Nadawi, dunia Islam telah dilumpuhkan oleh ajaran filsafat dan Bathiniah, yang merancukan pemikiran dan menggiring kepada atheisme, dekadensi moral, dan kekalutan politik. (Yusuf Qardhawi, 1997: 54). Namun perlu juga diingat menurut al-Ghazali, tidak ada satupun ketentuan bagi kita, untuk mengkafirkan seseorang. Sengaja penulis kutip, karena al-Ghazali merupakan penentang filusuf-filusuf yang dianggap mereduksi ajaran agama. (Yusuf Qardhawi, 1997: 114).
            Sebagaiman Ar-Razi, al-Farabi juga terpengaruh oleh pemikiran filusuf Yunani, seperti Plato, Aristoteles dan Plotinus (filsafatnya, segala yang ada berasal dari Yang Satu). Dalam filsafat emanasinya, ia banyak dipengaruhi oleh filsafat emanasi Plotinus dengan beberapa catatan yang disesuaikan dengan ajaran Islam yang berdasarkan Tauhid. Dan Yang Satu tersebut menurut al-Farabi diluar jangkauan akal manusia. Yang Satu bagaikan sumber yang melimpahkan roh (nous). Roh memancarkan jiwa (Psyche); dan jiwa memancarkan materi. Dalam proses emanasi itu dihasilkan hal-hal yang kesempurnaannya semakin berkurang. Namun penjelmaan paling rendah sekalipun tidak terlepas dari kesatuan dengan Yang Satu. (Imam Sukardi, 2005: 26).
Karena Tuhan befikir semenjak qidam, yaitu zaman tak bermula, apa yang dipancarkan pemikiran Tuhan itu mestilah pula qadim, dalam arti tidak mempunyai permulaan dalam zaman. Dengan lain kata Akal I, Akal II dan seterusnya serta materi asal yang empat api, udara, air dan tanah adalah pula qadim. Dari sinilah timbul pengertian alam qadim.

 F.      Penutup
            Ar-Razi dikenal sebagai filusuf dan dokter, ia merupakan golongan yang rasionalis, sehingga dalam filsafatnya ia lebih mementingkan akal dari segalanya. Dengan filsafat “lima kekal” ia  menjelsaskan bahwa sesuatu yang berasal dari yang kekal, maka sesuatu tersebut ikut kekal juga. Namun kekekalan Allah dengan empat kekal yang lainnya hanya sampai pada kekekalan zamani, bukan zatti. Sedangkan Al-Farabi sebagai filusuf, seniman dan teoritikus politik, hidup pada masa Abbasiyah yang pada saat itu muncul berbgai gejolak sosial politik dan keagamaan, sehingga kondisi ini sedikit banyak mempengaruhinya dalam melakukan aktivitasnya sebagai filusuf,  ia tidak lepas dari pengaruh filsafat Yunani, bagaiman umumnya filusuf Islam, dengan teori emanasinya yang dipengaruhi oleh filsafat Plotinus, teori politiknya dipengaruhi oleh Plato dan Aristoteles, namun pengaruh itu tidak menjadinya terseret arus, melainkan sebagai alat untuk mengenal Tuhan yang Maha Esa yang menciptakan seluruh alam semesta beserta isi-isinya.

Daftar Pustaka: e-mail saja ya om tante; musliminhaiz@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar